SUKU SASAK, NUSA TENGGARA BARAT
Nusa Tenggara Barat (disingkat NTB) ialah sebuah provinsi di Indonesia yang berada pada
bagian barat Kepulauan Nusa Tenggara. Provinsi ini beribu kota di Mataram dan memiliki 10 Kabupaten dan
Kota.
Pada awal kemerdekaan Indonesia,
wilayah ini termasuk dalam wilayah Provinsi Sunda Kecil[3][4] yang beribu kota di Singaraja. Kemudian, wilayah Provinsi Sunda Kecil dibagi menjadi 3 provinsi: Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Dua pulau terbesar
di provinsi ini adalah Lombok yang
terletak di barat dan Sumbawa yang
terletak di timur.
Sebagian besar dari penduduk Lombok
berasal dari suku Sasak, sementara
masyarakat Bima (suku Mbojo) dan Sumbawa merupakan kelompok etnis terbesar di Pulau Sumbawa. Mayoritas penduduk Nusa Tenggara Barat beragama
Islam, yaitu sekitar (94%).
Pulau Lombok adalah
sebuah pulau di kepulauan Sunda Kecil atau Nusa Tenggara yang terpisahkan oleh Selat Lombok dari Bali di sebelat barat dan Selat
Alas di sebelah timur dari Sumbawa.
Pulau ini kurang lebih berbentuk bulat dengan semacam "ekor" di sisi
barat daya yang panjangnya kurang lebih 70 km. Luas pulau ini mencapai 5.435
km² menempatkannya pada peringkat 108 dari daftar pulau berdasarkan luasnya di
dunia. Kota utama di pulau ini adalah Kota Mataram.
Suku Sasak adalah
suku bangsa yang mendiami pulau Lombok
dan menggunakan bahasa Sasak.
Sebagian besar suku Sasak beragama Islam, uniknya pada sebagian kecil
masyarakat suku Sasak, terdapat praktik agama Islam yang agak berbeda dengan
Islam pada umumnya yakni Islam Wetu Telu,
tetapi hanya berjumlah sekitar 1% yang melakukan praktik ibadah seperti itu.
Ada pula sedikit warga suku Sasak yang menganut kepercayaan pra-Islam yang
disebut dengan nama "Sasak
Boda".[1]
Kata Sasak berasal dari kata sak sak, artinya satu satu. Kata sak
juga dipakai oleh sebagian suku Dayak di pulau Kalimantan untuk mengatakan
satu. Orang Sasak terkenal pintar membuat kain dengan cara menenun, dahulu
setiap perempuan akan dikatakan dewasa dan siap berumah tangga jika sudah
pandai menenun. Menenun dalam bahasa orang Sasak adalah Sèsèk. Kata sèsèk
berasal dari kata sesak,sesek atau saksak. Sèsèk dilakukan dengan cara
memasukkan benang satu persatu(sak sak), kemudian benang disesakkan atau
dirapatkan hingga sesak dan padat untuk menjadi bentuk kain dengan cara memukul
mukulkan alat tenun. Uniknya suara yang terdengar ketika memukul mukul alat
tenun itupun terdengar seperti suara sak sak dan hanya dilakukan dua kali saja.
Itulah asal kata sasak yang kemudian diambil sebagai nama suku dipulau Lombok.
Orang suku Sasak yang mula mula mendiami pulau Lombok menggunakan bahasa Sasak sebagai bahasa sehari
hari. Bahasa Sasak sangat dekat
dengan bahasa suku Samawa, Bima dan bahkan Sulawesi, terutama Sulawesi Tenggara
yang berbahasa Tolaki.
Iklim
Berdasarkan data statistik dari
lembaga meteorologi, temperatur maksimum pada tahun 2001 berkisar antara 30,9°
– 32,1 °C, dan temperatur minimum berkisar antara 20,6°- 24,5 °C. Temperatur
tertinggi terjadi pada bulan September dan terendah ada bulan November. Sebagai
daerah tropis, NTB mempunyai rata-rata kelembaban yang relatif tinggi, yaitu
antara 48 - 95 %.
Kabupaten Lombok Tengah adalah salah satu Daerah Tingkat II di Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Ibu kota daerah ini ialah Praya. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 1.208,39
km² dengan populasi sebanyak 860.209 jiwa.
Geografis
Kabupaten Lombok Tengah terletak pada
posisi 82° 7' - 8° 30' Lintang Selatan dan 116° 10' - 116° 30' Bujur Timur,
membujur mulai dari kaki Gunung Rinjani di sebelah Utara hingga ke pesisir
pantai Kuta di sebelah Selatan dengan beberapa pulau kecil yang ada
disekitarnya.
Batas Wilayah
Kabupaten Lombok Tengah dengan
batas-batas sebagai berikut:
Utara :Gunung
Rinjani (Kabupaten Lombok Barat dan Kabupaten Lombok Timur)
Timur :
Kabupaten Lombok Timur
Selatan : Samudera Indonesia
Barat :
Kabupaten Lombok Barat
Desa Sade Rembitan di Lombok Tengah ini
merupakan salah satu dari tiga desa
adat yang menjadi pemukiman suku Sasak
di Lombok. Desa seluas lima hektar ini
sudah ada sejak 600 tahun yang lalu dan telah dijadikan tempat wisata sejak
masa Hindia Belanda.
Adat dan tradisi suku sasak
Mayoritas
penduduk sasak Sade bekerja sebagai petani, sedangkan wanitanya adalah para
pengrajin tenun, biasanya hasil tenun itu dijual di sekitar rumah maupun
dipasarkan pada toko seni dengan harga yang bervariasi sesuai dengan ukuran dan
tingkat kerumitan pembuatannya. Bahan yang dipakai untuk menenun awalnya
diperoleh dari lingkungan sekitar, yakni mulai dari benang yang dipintal dari
kapas yang tumbuh liar di kebun-kebun maupun bahan pewarnanya yang dibuat dari
warna tanaman-tanaman yang mudah ditemui. Namun kini, mereka sudah bisa
mendapatkan benang-benang tenun dari penjual di pasar terdekat sehingga lebih
mempercepat proses produksi. Menenun kain songket biasanya membutuhkan waktu
minimal dua minggu, tergantung dari kerumitan desain.
Suku Sasak terdapat tradisi paling unik yang terjadi di
suku sasak ini. Tradisi ini dinamakan merariq
atau pelarian . Dimana setiap perempuan yang akan menikah akan diculik oleh
mempelai laki-laki selama tiga hari. Tradisi diculik ini sebenarnya mereka
hanya menginap di rumah kerabatnya. Yang terpenting calon mempelai keluar dari
desa tersebut. Hal ini semata-mata untuk menghormati tradisi para leluhur yang
masih dipegang teguh oleh masyarakat sekitar.
Tradisi ini
dilkukan setelah tradisi pelarian dilakukan. Nyongkolan adalah sebuah kegiatan adat yang menyertai rangkaian
acara dalam prosesi perkawinan pada suku sasak di Lombok, Nusa Tenggara Barat.
kegiatan ini berupa arak-arakan kedua mempelai dari rumah mempelai pria ke
rumah mempelai wanita, dengan diiringi keluarga dan kerabat mempelai pria,
memakai baju adat, serta rombongan musik yang bisa gamelan atau kelompok
penabuh rebana, atau disertai Gendang beleq pada kalangan bangsawan. Dalam
pelaksanaannya, karena faktor jarak, maka prosesi ini tidak dilakukan secara
harfiah, tetapi biasanya rombongan mulai berjalan dari jarak 1-0,5 km dari
rumah mempelai wanita.
Tujuan dari prosesi ini adalah untuk
memperkenalkan pasangan mempelai tersebut ke masyarakat, terutama pada kalangan
kerabat maupun masyarakat dimana mempelai perempuan tinggal, karena biasanya
seluruh rangkaian acara pernikahan dilaksanakan di pihak mempelai laki-laki.
perempuan di kampung Sade Lombok jarang
yang memiliki pendidikan tinggi. Hal tersebut dikarenakan jarang mereka
diizinkan keluar dari kampung. Mereka sejak kecil belajar menenun. Ada aturan
tak tertulis yang masih dipegang oleh perempuan Sade dimana mereka tidak boleh
menikah sebelum mereka mahir menenun. Tak heran jika mereka bisa menenun sejak
usia SD. Sehingga mereka jug MENIKh diumur yg sangat muda yaitu 14 tahun
sedangkan untuk laki-laki berusia 18 tahun
POTENSI BENCANA ALAM
Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB),
termasuk wilayah yang rawan terkena bencana alam, di lihat dari gambar di atas
sebagian besar wilayah NTB rawan terkena bencana alam, wilaya lombok barat,
lombok timur, sumbawa, bima merupakan daerah yang paling rawan terkena ancaman
benacana alam, sedangkan untuk wilayah Lombok Utara dan Kota Bima termasuk
kategori rendah terkena benacana alam. Ancaman bencana yanag ada di NTB anatara
lain banjir, Gempabumi, Tsunami, Kebakaran Permukiman, Kekeringan, Cuaca
Ekstrem, Longsor, Gunungapi, Abrasi, Kebakaran Hutan dan Lahan, Konflik
Sosial, Epidemi dan Wabah Penyakit.
Di sisi timur kaldera terdapat Gunung
Baru (Gunung Barujari) yang memiliki kawah berukuran 170m×200 m dengan
ketinggian 2.296 - 2376 m dpl. Gunung kecil ini terakhir aktif/meletus sejak
tanggal 2 Mei 2009 dan sepanjang Mei, setelah sebelumnya meletus pula tahun
2004.Jika letusan tahun 2004 tidak memakan korban jiwa, letusan tahun 2009 ini
telah memakan korban jiwa tidak langsung 31 orang, karena banjir bandang
pada Kokok (Sungai) Tanggek akibat desakan lava ke Segara
Anak.Sebelumnya, Gunung Barujari pernah tercatat meletus pada tahun 1944
(sekaligus pembentukannya), 1966, dan 1994.
Berikut ini sederet gempa dan tsunami yang pernah
terjadi di wilayah NTB berdasarkan catatan Rovicky dan BMKG:
1. Tsunami di Bima (8 November 1818), setinggi 3,5 meter
2. Tsunami di Bima (29 Desember 1820), setinggi 24 meter
3. Tsunami di Bima (5 Maret 1836)
4. Tsunami di Bima (28 November 1836)
5. Gempa dan Tsunami Labuantereng, Lombok (25 Juli 1856)
6. Gempa di Lombok (10 April 1978), berkekuatan 6,7 SR
7. Gempa di Lombok (21 Mei 1979), berkekuatan 5,7 SR
8. Gempa di Lombok (20 Oktober 1979), berkekuatan 6 SR
9. Gempa di Lombok (30 Mei 1979), berkekuatan 6,1 SR
10. Gempa di Lombok (1 Januari 2000), berkekuatan 6,1 SR
11. Gempa di Lombok (22 Juni 2013), berkekuatan 5,4 SR
12. Gempa di Dompu (1 Agustus 2016), berkekuatan 5,7 SR
13. Gempa di Lombok Utara (29 Juli 2018), berkekuatan 6,4 SR
14. Gempa dan tsunami di Lombok (5 Agustus 2018), gempa berkekuatan 7 SR dan tsunami setinggi 10-13 cm
1. Tsunami di Bima (8 November 1818), setinggi 3,5 meter
2. Tsunami di Bima (29 Desember 1820), setinggi 24 meter
3. Tsunami di Bima (5 Maret 1836)
4. Tsunami di Bima (28 November 1836)
5. Gempa dan Tsunami Labuantereng, Lombok (25 Juli 1856)
6. Gempa di Lombok (10 April 1978), berkekuatan 6,7 SR
7. Gempa di Lombok (21 Mei 1979), berkekuatan 5,7 SR
8. Gempa di Lombok (20 Oktober 1979), berkekuatan 6 SR
9. Gempa di Lombok (30 Mei 1979), berkekuatan 6,1 SR
10. Gempa di Lombok (1 Januari 2000), berkekuatan 6,1 SR
11. Gempa di Lombok (22 Juni 2013), berkekuatan 5,4 SR
12. Gempa di Dompu (1 Agustus 2016), berkekuatan 5,7 SR
13. Gempa di Lombok Utara (29 Juli 2018), berkekuatan 6,4 SR
14. Gempa dan tsunami di Lombok (5 Agustus 2018), gempa berkekuatan 7 SR dan tsunami setinggi 10-13 cm
ARSITEKTUR
Nusa Tenggara Barat Terbagi atas dua
Bagian yaitu Lombok dan Sumbawa. Sumbawa memiliki rumah adat bernama Dalam Loka
Samawa dan Pulau Lombok memiliki rumah adat suku Sasak yang biasa disebut Bale.
Kali ini akan dijelaskan mengenai Rumah Bale sebagai Kekayaan Arsitektur di
Nusa Tenggara Barat.
Bale adalah rumah adat dari suku
Sasak yang berada di dusun Sade di desa Rembitan, Pujut, Lombok Tengah. Keunikan
dari dusun Sade adalah keteguhannya dalam melestarikan rumah adat ini. Suku
sasak memiliki aturan-aturan untuk membangun rumah, yaitu memilih waktu
membangun dan juga lokasi pembangunan karena mereka mempercayai jika tidak
mengikuti aturan akan mendapat nasib buruk saat menempati rumah. rumah-rumah
ini didirikan tanpa menggunakan paku. Dalam membangun rumah, orang Sasak
menyesuaikan dengan kebutuhan keluarga maupun kelompoknya. Artinya, pembangunan
tidak semata-mata untuk mememenuhi kebutuhan keluarga tetapi juga kebutuhan
kelompok. Karena konsep itulah, maka komplek perumahan adat Sasak tampak
teratur seperti menggambarkan kehidupan harmoni penduduk setempat.
BALE LUMBUNG
Bale lumbung dijadikan sebagai ciri
khas rumah adat suku sasak dari pulau Lombok. Hal ini disebabkan bentuknya yang
sangat unik dan menarik yaitu berupa rumah panggung dengan ujung atap yang
runcing kemudian melebar sedikit lalu lurus ke bawah dan bagian bawahnya
melebar kembali dengan jarak atap 1,5 - 2,0 meter dari tanah dan diameter 1,5 –
3,0 meter. Atap dan bubungannya dibuat dari jerami atau alang – alang,
dindingnya terbuat dari anyaman bambu (bedek), lantainya menggunakan papan kayu
dan bale lumbung ini disangga oleh empat tiang yang terbuat dari tanah dan batu sebagai fondasi. Bagian atap dari bale
lumbung merupakan suatu ruangan yang digunakan untuk menaruh padi hasil dari
beberapa kepala keluarga. Bentuknya berupa rumah panggung dimaksudkan untuk
menghindari hasil panen rusak akibat banjir dan serangan tikus.
BALE TANI
Merupakan rumah tinggal masyarakat
yang berprofesi sebagai petani. Di dalam suku Sasak khususnya dusun Sade ini tidak
mengenal sistem kasta. Hampir seluruhnya, masyarakat berprofesi sebagai petani.
Bentuk Bale Tani melambangkan mikrokosmos atau dunia kecil. Mikrokosmos disini
adalah hubungan Tuhan dengan manusia serta manusia dengan sesamanya. Bentuk
yang meninggi di bagian belakang melambangkan hubungan manusia dengan Tuhan, sedangkan
sosoran atap di bagian depan melambangkan hubungan manusia dengan sesama.
Secara garis besar, makna dari tanda
yang terlihat di arsitektur Bale Tani memuat ajaran untuk menyeimbangkan hubungan
antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa maupun dengan sesama manusia. Juga,
kita tidak boleh melupakan asal usul (nenek moyang, leluhur). Bentuk pada Bale
Tani atau Bale Gunung Rata juga menggambarkan kesamarataan derajat semua
manusia di hadapan Tuhan Yang Maha Esa, dan ajaran untuk selalu rendah hati
atau saling menghargai sesama.
LANTAI
Lantai bale tani terbuat dari
kombinasi antara tanah liat, batu bata, abu jerami, getah pohon dan kotoran
sapi atau kerbau. Kombinasi antara tanah liat dan kotoran ternak dilakukan
karena dapat membuat lantai tanah mengeras, selain itu mereka terbiasa melapisi
lantai dengan kotoran ternak untuk menjaga agar lantai tidak retak, rumah
menjadi lebih hangat dan pengusir nyamuk. Walaupun dilapisi oleh kotoran ternak
tetapi rumah tidak menjadi bau karena kotoran sudah dibakar dan dihaluskan
terlebih dahulu. .
Ternyata ada manfaat lain dari
penggunaan kotoran sapi ini yaitu, kotoran sapi dipercaya masyarakat desa sade
sebagai alat pengusir nyamuk. Ketika malam hari yang dingin, kotoran sapi ini
juga membuat suhu rumah adat ini menjadi hangat.
TATA RUANG
Ruangan pada Bale Tani terdiri atas
Bale Luar atau disebut juga Sesangkok
(serambi) yang digunakan sebagai tempat menerima tamu dan kamar tidur dan juga Bale Dalam
yang terbagi lagi menjadi Dalem Bale (kamar) dan Pawon (dapur). Dalem Bale ini khusus digunakan oleh anggota
keluarga perempuan, diantaranya tempat menaruh harta berharga, ruang tidur anak
gadis, ruang persalinan, dan ruang menaruh jenazah sebelum dikuburkan. Pada
dapur terdapat dua tungku untuk memasak yang menempel pada lantai dan sempare
yaitu wadah untuk menaruh bahan pangan dan peralatan dapur yang terbuat dari
bambu.
Dalem Bale berada di atas Luar Bale
sehingga untuk mencapai Dalem Bale
terdapat tiga anak tangga. Tiga anak tangga ini memiliki arti Wetu Telu yaitu
kepercayaan tiga waktu oleh suku sasak yang terdiri dari lahir, tumbuh dan
mati. Saat Islam mulai memasuki Pulau Lombok, suku sasak melakukan sholat
sesuai adat Wetu Telu yaitu sholat
tiga waktu. Namun saat ini warga Sade telah menunaikan sholat lima waktu atau Wetu Lima yang ditandai dengan tambahan
dua tangga pada bagian muka Bale Luar di Bale Tani. Setelah melewati tangga
teratas terdapat satu Interior Bale Tani dibagi menjadi 2 bagian, yaitu Bale
Luar dan Bale Dalam. Bale Luar menggambarkan hubungan antar manusia untuk
saling menghormati dan mempertahankan sikap kekeluargaan, sedangkan Bale Dalem
yang lebih privat, memperlihatkan peran wanita yang sangat penting dalam sebuah
keluarga, karena di dalamnya terdapat dapur dan tempat tidur untuk anak
perempuan yang masih perawan.
pintu masuk untuk memasuki ruang Bale
Dalem, cara membuka pintu dengan cara digeser yang disebut Lawang Kuri .
Konstruksi rumah tradisional Sasak
agaknya terkait pula dengan perspektif Islam.
·
Anak tangga sebanyak tiga buah
tadi adalah simbol daur hidup manusia: lahir, berkembang, dan mati. Juga
sebagai keluarga batih (ayah, ibu, dan anak), atau
·
berugak bertiang empat simbol syariat Islam:
Al Quran, Hadis, Ijma’, Qiyas).
·
Anak yang yunior dan senior
dalam usia ditentukan lokasi rumahnya. Rumah orangtua berada di tingkat paling
tinggi, disusul anak sulung dan anak bungsu berada di tingkat paling bawah. Ini
sebuah ajaran budi pekerti bahwa kakak dalam bersikap dan berperilaku hendaknya
menjadi panutan sang adik.
·
Rumah yang menghadap timur
secara simbolis bermakna bahwa yang tua lebih dulu menerima/menikmati
kehangatan matahari pagi ketimbang yang muda yang secara fisik lebih kuat. Juga
bisa berarti, begitu keluar rumah untuk bekerja dan mencari nafkah, manusia berharap
mendapat rida Allah di antaranya melalui shalat, dan hal itu sudah diingatkan
bahwa pintu rumahnya menghadap timur atau berlawanan dengan arah matahari
terbenam (barat/kiblat).
·
Tamu pun harus merunduk bila
memasuki pintu rumah yang relatif pendek. Mungkin posisi membungkuk itu secara
tidak langsung mengisyaratkan sebuah etika atau wujud penghormatan kepada tuan
rumah dari sang tamu.
·
Kemudian lumbung, kecuali mengajarkan warganya untuk hidup hemat dan tidak
boros sebab stok logistik yang disimpan di dalamnya, hanya bisa diambil pada
waktu tertentu, misalnya sekali sebulan. Bahan logistik (padi dan palawija) itu
tidak boleh dikuras habis, melainkan disisakan untuk keperluan mendadak,
seperti mengantisipasi gagal panen akibat cuaca dan serangan binatang yang
merusak tanaman atau bahan untuk mengadakan syukuran jika ada salah satu
anggota keluarga meninggal.
·
Berugak yang ada di depan rumah, di samping
merupakan penghormatan terhadap rezeki yang diberikan Tuhan, juga berfungsi
sebagai ruang keluarga, menerima tamu, juga menjadi alat kontrol bagi warga
sekitar. Misalnya, kalau sampai pukul sembilan pagi masih ada yang duduk di
berugak dan tidak keluar rumah untuk bekerja di sawah, ladang, dan kebun,
mungkin dia sakit.
Sejak proses perencanaan rumah
didirikan, peran perempuan atau istri
diutamakan. Umpamanya, jarak usuk bambu rangka atap selebar kepala istri,
tinggi penyimpanan alat dapur (sempare) harus bisa dicapai lengan istri, bahkan
lebar pintu rumah seukuran tubuh istri. Membangun dan merehabilitasi rumah
dilakukan secara gotong-royong meski makan-minum, berikut bahan bangunan,
disediakan tuan rumah.
Dalam masyarakat Sasak, rumah berada
dalam dimensi sakral (suci) dan profan duniawi) secara bersamaan. Artinya,
rumah adat Sasak disamping sebagai tempat berlindung dan berkumpulnya anggota
keluarga juga menjadi tempat dilaksanakannya ritual-ritual sakral yang
merupakan manifestasi dari keyakinan kepada Tuhan, arwah nenek moyang (papuk
baluk) bale (penunggu rumah), dan sebaginya.
Perubahan pengetahuan masyarakat,
bertambahnya jumlah penghuni dan berubahnya faktor-faktor eksternal lainya
(seperti faktor keamanan, geografis, dan topografis) menyebabkan perubahan
terhadap fungsi dan bentuk fisik rumah adat. Hanya saja, konsep pembangunannya
seperti arsitektur, tata ruang, dan polanya tetap menampilkan karakteristik
tradisionalnya yang dilandasi oleh nilai-nilai filosofis yang ditransmisikan
secara turun temurun.
MATERIAL
Sementara material yang dibutuhkan
untuk membangun rumah antara lain: kayu-kayu penyangga, bambu, anyaman dari
bambu untuk dinding, jerami dan alang-alang digunakan untuk membuat atap,
kotaran kerbau atau kuda sebagai bahan campuran untuk mengeraskan lantai, getah
pohon kayu banten dan bajur, abu jerami, digunakan sebagai bahan campuran untuk
mengeraskan lantai.(*)
Tiang rumah dan kusen-kusen pada
bangunan utama terbuat dari kayu yang kokoh. Pada bagian luar rumah, terdapat
bangunan lumbung padi, didirikan di atas empat tumpukan kayu dengan atap
berbentuk topi yang terbuat dari alang-alang. Biasanya padi dimasukkan melalui
jendela terbuka. Pada bagian bawahnya terdapat bale-bale, yakni tempat untuk
para penduduk berinteraksi sekaligus menjaga lumbung.
Kehidupan masyarakat Sade sungguhlah
sederhana. Mereka masih memasak menggunakan kayu sebagai bahan bakarnya.
Bahkan, lantai rumahnya terbuat dari bahan campuran tanah liat, getah pohon,
abu jerami, dan kotoran kerbau. Campuran ini dimaksudkan agar ruangan di dalam
rumah tidak lembab dan terjaga kebersihannya dari gangguan nyamuk. Rumah-rumah
Sade pun berjajar rapi dengan tinggi yang hampir sama satu sama lainnya. Jalan
penghubung antar rumah masih terbuat dari tanah, namun sebagian ada yang sudah
terbuat dari semen dan ubin.
ANALISA KONDISI GEOGRAFIS TERHADAP ARSITEKTUR
Kondisi geografis Lombok yang berada
pada Ring of Fire membuat nenek moyang bangsa Indonesia harus mampu untuk
beradaptasi dengan kondisi alam tesebut. Bentuk adaptasi ini menghasilkan
arsitektur vernakular yang tercermin dari detail rumah adat yang secara turun
temurun telah diwariskan
Rumah-rumah ini terbuat dari kayu
yang saling dikaitkan satu lainnya dengan sistem baji atau pasak. Ikatan
sambungan semacam ini dinilai sangat dinamis sehingga mampu menahan goncangan
yang tinggi seperti gempa. Pada prinsipnya, rumah-rumah ini dibuat bukan untuk
memperkuat struktur dan sambungannya, melainkan untuk memperbesar fleksibilitas
strukturnya. Pasca gempa, biasanya masyarakat akan membenarkan posisi
pasak-pasak yang menonjol keluar dengan cara dipukul-pukul.
Penggunaan material kayu atau bambu
pada rumah adat juga membuat rumah memiliki lebih banyak kelenturan terhadap
guncangan gempa. Bahan ringan seperti kayu ini dinilai lebih aman untuk
diterapkan pada rumah, karena yang berbahaya dari gempa bukanlah peristiwanya,
namun rubuhnya bangunan akibat gempa. Penggunaan kayu mampu menghasilkan
kemampuan meredam getaran yang lebih efektif, fleksibel, dan stabil. Sebagian
besar rumah tradisional juga dibuat dengan bentuk yang simetris. Hal inilah
yang memberikan pengaruh pada kestabilan rumah adat. Dengan bentuk yang
simetris, sebaran beban pada rumah adat akan merata sehingga kestabilan dapat
terjaga.
Komentar
Posting Komentar