SUKU SASAK, NUSA TENGGARA BARAT

Nusa Tenggara Barat (disingkat NTB) ialah sebuah provinsi di Indonesia yang berada pada bagian barat Kepulauan Nusa Tenggara. Provinsi ini beribu kota di Mataram dan memiliki 10 Kabupaten dan Kota.
Pada awal kemerdekaan Indonesia, wilayah ini termasuk dalam wilayah Provinsi Sunda Kecil[3][4] yang beribu kota di Singaraja. Kemudian, wilayah Provinsi Sunda Kecil dibagi menjadi 3 provinsi: Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Dua pulau terbesar di provinsi ini adalah Lombok yang terletak di barat dan Sumbawa yang terletak di timur.
Sebagian besar dari penduduk Lombok berasal dari suku Sasak, sementara masyarakat Bima (suku Mbojo) dan Sumbawa merupakan kelompok etnis terbesar di Pulau Sumbawa. Mayoritas penduduk Nusa Tenggara Barat beragama Islam, yaitu sekitar (94%).
Pulau Lombok adalah sebuah pulau di kepulauan Sunda Kecil atau Nusa Tenggara yang terpisahkan oleh Selat Lombok dari Bali di sebelat barat dan Selat Alas di sebelah timur dari Sumbawa. Pulau ini kurang lebih berbentuk bulat dengan semacam "ekor" di sisi barat daya yang panjangnya kurang lebih 70 km. Luas pulau ini mencapai 5.435 km² menempatkannya pada peringkat 108 dari daftar pulau berdasarkan luasnya di dunia. Kota utama di pulau ini adalah Kota Mataram.
Suku Sasak adalah suku bangsa yang mendiami pulau Lombok dan menggunakan bahasa Sasak. Sebagian besar suku Sasak beragama Islam, uniknya pada sebagian kecil masyarakat suku Sasak, terdapat praktik agama Islam yang agak berbeda dengan Islam pada umumnya yakni Islam Wetu Telu, tetapi hanya berjumlah sekitar 1% yang melakukan praktik ibadah seperti itu. Ada pula sedikit warga suku Sasak yang menganut kepercayaan pra-Islam yang disebut dengan nama "Sasak Boda".[1]
Kata Sasak berasal dari kata sak sak, artinya satu satu. Kata sak juga dipakai oleh sebagian suku Dayak di pulau Kalimantan untuk mengatakan satu. Orang Sasak terkenal pintar membuat kain dengan cara menenun, dahulu setiap perempuan akan dikatakan dewasa dan siap berumah tangga jika sudah pandai menenun. Menenun dalam bahasa orang Sasak adalah Sèsèk. Kata sèsèk berasal dari kata sesak,sesek atau saksak. Sèsèk dilakukan dengan cara memasukkan benang satu persatu(sak sak), kemudian benang disesakkan atau dirapatkan hingga sesak dan padat untuk menjadi bentuk kain dengan cara memukul mukulkan alat tenun. Uniknya suara yang terdengar ketika memukul mukul alat tenun itupun terdengar seperti suara sak sak dan hanya dilakukan dua kali saja. Itulah asal kata sasak yang kemudian diambil sebagai nama suku dipulau Lombok. Orang suku Sasak yang mula mula mendiami pulau Lombok menggunakan bahasa Sasak sebagai bahasa sehari hari. Bahasa Sasak sangat dekat dengan bahasa suku Samawa, Bima dan bahkan Sulawesi, terutama Sulawesi Tenggara yang berbahasa Tolaki.
Iklim
Berdasarkan data statistik dari lembaga meteorologi, temperatur maksimum pada tahun 2001 berkisar antara 30,9° – 32,1 °C, dan temperatur minimum berkisar antara 20,6°- 24,5 °C. Temperatur tertinggi terjadi pada bulan September dan terendah ada bulan November. Sebagai daerah tropis, NTB mempunyai rata-rata kelembaban yang relatif tinggi, yaitu antara 48 - 95 %.

Kabupaten Lombok Tengah adalah salah satu Daerah Tingkat II di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Ibu kota daerah ini ialah Praya. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 1.208,39 km² dengan populasi sebanyak 860.209 jiwa.
Geografis
Kabupaten Lombok Tengah terletak pada posisi 82° 7' - 8° 30' Lintang Selatan dan 116° 10' - 116° 30' Bujur Timur, membujur mulai dari kaki Gunung Rinjani di sebelah Utara hingga ke pesisir pantai Kuta di sebelah Selatan dengan beberapa pulau kecil yang ada disekitarnya.
Batas Wilayah
Kabupaten Lombok Tengah dengan batas-batas sebagai berikut:
Utara   :Gunung Rinjani (Kabupaten Lombok Barat dan Kabupaten Lombok Timur)
Timur  : Kabupaten Lombok Timur
Selatan            : Samudera Indonesia
Barat   : Kabupaten Lombok Barat
Desa Sade Rembitan di Lombok Tengah ini merupakan salah satu dari tiga desa adat yang menjadi pemukiman suku Sasak di Lombok. Desa seluas lima hektar ini sudah ada sejak 600 tahun yang lalu dan telah dijadikan tempat wisata sejak masa Hindia Belanda.

Adat dan tradisi suku sasak
Mayoritas penduduk sasak Sade bekerja sebagai petani, sedangkan wanitanya adalah para pengrajin tenun, biasanya hasil tenun itu dijual di sekitar rumah maupun dipasarkan pada toko seni dengan harga yang bervariasi sesuai dengan ukuran dan tingkat kerumitan pembuatannya. Bahan yang dipakai untuk menenun awalnya diperoleh dari lingkungan sekitar, yakni mulai dari benang yang dipintal dari kapas yang tumbuh liar di kebun-kebun maupun bahan pewarnanya yang dibuat dari warna tanaman-tanaman yang mudah ditemui. Namun kini, mereka sudah bisa mendapatkan benang-benang tenun dari penjual di pasar terdekat sehingga lebih mempercepat proses produksi. Menenun kain songket biasanya membutuhkan waktu minimal dua minggu, tergantung dari kerumitan desain.
Suku Sasak terdapat tradisi paling unik yang terjadi di suku sasak ini. Tradisi ini dinamakan merariq atau pelarian . Dimana setiap perempuan yang akan menikah akan diculik oleh mempelai laki-laki selama tiga hari. Tradisi diculik ini sebenarnya mereka hanya menginap di rumah kerabatnya. Yang terpenting calon mempelai keluar dari desa tersebut. Hal ini semata-mata untuk menghormati tradisi para leluhur yang masih dipegang teguh oleh masyarakat sekitar.
Tradisi ini dilkukan setelah tradisi pelarian dilakukan. Nyongkolan adalah sebuah kegiatan adat yang menyertai rangkaian acara dalam prosesi perkawinan pada suku sasak di Lombok, Nusa Tenggara Barat. kegiatan ini berupa arak-arakan kedua mempelai dari rumah mempelai pria ke rumah mempelai wanita, dengan diiringi keluarga dan kerabat mempelai pria, memakai baju adat, serta rombongan musik yang bisa gamelan atau kelompok penabuh rebana, atau disertai Gendang beleq pada kalangan bangsawan. Dalam pelaksanaannya, karena faktor jarak, maka prosesi ini tidak dilakukan secara harfiah, tetapi biasanya rombongan mulai berjalan dari jarak 1-0,5 km dari rumah mempelai wanita.
Tujuan dari prosesi ini adalah untuk memperkenalkan pasangan mempelai tersebut ke masyarakat, terutama pada kalangan kerabat maupun masyarakat dimana mempelai perempuan tinggal, karena biasanya seluruh rangkaian acara pernikahan dilaksanakan di pihak mempelai laki-laki.
perempuan di kampung Sade Lombok jarang yang memiliki pendidikan tinggi. Hal tersebut dikarenakan jarang mereka diizinkan keluar dari kampung. Mereka sejak kecil belajar menenun. Ada aturan tak tertulis yang masih dipegang oleh perempuan Sade dimana mereka tidak boleh menikah sebelum mereka mahir menenun. Tak heran jika mereka bisa menenun sejak usia SD. Sehingga mereka jug MENIKh diumur yg sangat muda yaitu 14 tahun sedangkan untuk laki-laki berusia 18 tahun

POTENSI BENCANA ALAM

Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), termasuk wilayah yang rawan terkena bencana alam, di lihat dari gambar di atas sebagian besar wilayah NTB rawan terkena bencana alam, wilaya lombok barat, lombok timur, sumbawa, bima merupakan daerah yang paling rawan terkena ancaman benacana alam, sedangkan untuk wilayah Lombok Utara dan Kota Bima termasuk kategori rendah terkena benacana alam. Ancaman bencana yanag ada di NTB anatara lain banjir, Gempabumi, Tsunami, Kebakaran Permukiman, Kekeringan, Cuaca Ekstrem, Longsor, Gunungapi, Abrasi, Kebakaran Hutan dan Lahan, Konflik Sosial, Epidemi dan Wabah Penyakit.
Di sisi timur kaldera terdapat Gunung Baru (Gunung Barujari) yang memiliki kawah berukuran 170m×200 m dengan ketinggian 2.296 - 2376 m dpl. Gunung kecil ini terakhir aktif/meletus sejak tanggal 2 Mei 2009 dan sepanjang Mei, setelah sebelumnya meletus pula tahun 2004.Jika letusan tahun 2004 tidak memakan korban jiwa, letusan tahun 2009 ini telah memakan korban jiwa tidak langsung 31 orang, karena banjir bandang pada Kokok (Sungai) Tanggek akibat desakan lava ke Segara Anak.Sebelumnya, Gunung Barujari pernah tercatat meletus pada tahun 1944 (sekaligus pembentukannya), 1966, dan 1994.
Berikut ini sederet gempa dan tsunami yang pernah terjadi di wilayah NTB berdasarkan catatan Rovicky dan BMKG:

1. Tsunami di Bima (8 November 1818), setinggi 3,5 meter
2. Tsunami di Bima (29 Desember 1820), setinggi 24 meter
3. Tsunami di Bima (5 Maret 1836)
4. Tsunami di Bima (28 November 1836)
5. Gempa dan Tsunami Labuantereng, Lombok (25 Juli 1856)
6. Gempa di Lombok (10 April 1978), berkekuatan 6,7 SR
7. Gempa di Lombok (21 Mei 1979), berkekuatan 5,7 SR
8. Gempa di Lombok (20 Oktober 1979), berkekuatan 6 SR
9. Gempa di Lombok (30 Mei 1979), berkekuatan 6,1 SR
10. Gempa di Lombok (1 Januari 2000), berkekuatan 6,1 SR
11. Gempa di Lombok (22 Juni 2013), berkekuatan 5,4 SR
12. Gempa di Dompu (1 Agustus 2016), berkekuatan 5,7 SR
13. Gempa di Lombok Utara (29 Juli 2018), berkekuatan 6,4 SR
14. Gempa dan tsunami di Lombok (5 Agustus 2018), gempa berkekuatan 7 SR dan tsunami setinggi 10-13 cm

ARSITEKTUR

Nusa Tenggara Barat Terbagi atas dua Bagian yaitu Lombok dan Sumbawa. Sumbawa memiliki rumah adat bernama Dalam Loka Samawa dan Pulau Lombok memiliki rumah adat suku Sasak yang biasa disebut Bale. Kali ini akan dijelaskan mengenai Rumah Bale sebagai Kekayaan Arsitektur di Nusa Tenggara Barat.
Bale adalah rumah adat dari suku Sasak yang berada di dusun Sade di desa Rembitan, Pujut, Lombok Tengah. Keunikan dari dusun Sade adalah keteguhannya dalam melestarikan rumah adat ini. Suku sasak memiliki aturan-aturan untuk membangun rumah, yaitu memilih waktu membangun dan juga lokasi pembangunan karena mereka mempercayai jika tidak mengikuti aturan akan mendapat nasib buruk saat menempati rumah. rumah-rumah ini didirikan tanpa menggunakan paku. Dalam membangun rumah, orang Sasak menyesuaikan dengan kebutuhan keluarga maupun kelompoknya. Artinya, pembangunan tidak semata-mata untuk mememenuhi kebutuhan keluarga tetapi juga kebutuhan kelompok. Karena konsep itulah, maka komplek perumahan adat Sasak tampak teratur seperti menggambarkan kehidupan harmoni penduduk setempat.

BALE LUMBUNG

Bale lumbung dijadikan sebagai ciri khas rumah adat suku sasak dari pulau Lombok. Hal ini disebabkan bentuknya yang sangat unik dan menarik yaitu berupa rumah panggung dengan ujung atap yang runcing kemudian melebar sedikit lalu lurus ke bawah dan bagian bawahnya melebar kembali dengan jarak atap 1,5 - 2,0 meter dari tanah dan diameter 1,5 – 3,0 meter. Atap dan bubungannya dibuat dari jerami atau alang – alang, dindingnya terbuat dari anyaman bambu (bedek), lantainya menggunakan papan kayu dan bale lumbung ini disangga oleh empat tiang yang terbuat dari tanah dan  batu sebagai fondasi. Bagian atap dari bale lumbung merupakan suatu ruangan yang digunakan untuk menaruh padi hasil dari beberapa kepala keluarga. Bentuknya berupa rumah panggung dimaksudkan untuk menghindari hasil panen rusak akibat banjir dan serangan tikus.
BALE TANI
Merupakan rumah tinggal masyarakat yang berprofesi sebagai petani. Di dalam suku Sasak khususnya dusun Sade ini tidak mengenal sistem kasta. Hampir seluruhnya, masyarakat berprofesi sebagai petani. Bentuk Bale Tani melambangkan mikrokosmos atau dunia kecil. Mikrokosmos disini adalah hubungan Tuhan dengan manusia serta manusia dengan sesamanya. Bentuk yang meninggi di bagian belakang melambangkan hubungan manusia dengan Tuhan, sedangkan sosoran atap di bagian depan melambangkan hubungan manusia dengan sesama.
Secara garis besar, makna dari tanda yang terlihat di arsitektur Bale Tani memuat ajaran untuk menyeimbangkan hubungan antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa maupun dengan sesama manusia. Juga, kita tidak boleh melupakan asal usul (nenek moyang, leluhur). Bentuk pada Bale Tani atau Bale Gunung Rata juga menggambarkan kesamarataan derajat semua manusia di hadapan Tuhan Yang Maha Esa, dan ajaran untuk selalu rendah hati atau saling menghargai sesama.

LANTAI

Lantai bale tani terbuat dari kombinasi antara tanah liat, batu bata, abu jerami, getah pohon dan kotoran sapi atau kerbau. Kombinasi antara tanah liat dan kotoran ternak dilakukan karena dapat membuat lantai tanah mengeras, selain itu mereka terbiasa melapisi lantai dengan kotoran ternak untuk menjaga agar lantai tidak retak, rumah menjadi lebih hangat dan pengusir nyamuk. Walaupun dilapisi oleh kotoran ternak tetapi rumah tidak menjadi bau karena kotoran sudah dibakar dan dihaluskan terlebih dahulu. .
Ternyata ada manfaat lain dari penggunaan kotoran sapi ini yaitu, kotoran sapi dipercaya masyarakat desa sade sebagai alat pengusir nyamuk. Ketika malam hari yang dingin, kotoran sapi ini juga membuat suhu rumah adat ini menjadi hangat.

TATA RUANG

Ruangan pada Bale Tani terdiri atas Bale Luar atau disebut juga Sesangkok (serambi) yang digunakan sebagai tempat menerima tamu dan kamar tidur dan juga Bale Dalam yang terbagi lagi menjadi Dalem Bale (kamar) dan Pawon (dapur). Dalem Bale ini khusus digunakan oleh anggota keluarga perempuan, diantaranya tempat menaruh harta berharga, ruang tidur anak gadis, ruang persalinan, dan ruang menaruh jenazah sebelum dikuburkan. Pada dapur terdapat dua tungku untuk memasak yang menempel pada lantai dan sempare yaitu wadah untuk menaruh bahan pangan dan peralatan dapur yang terbuat dari bambu.
Dalem Bale berada di atas Luar Bale sehingga untuk mencapai Dalem Bale terdapat tiga anak tangga. Tiga anak tangga ini memiliki arti Wetu Telu yaitu kepercayaan tiga waktu oleh suku sasak yang terdiri dari lahir, tumbuh dan mati. Saat Islam mulai memasuki Pulau Lombok, suku sasak melakukan sholat sesuai adat Wetu Telu yaitu sholat tiga waktu. Namun saat ini warga Sade telah menunaikan sholat lima waktu atau Wetu Lima yang ditandai dengan tambahan dua tangga pada bagian muka Bale Luar di Bale Tani. Setelah melewati tangga teratas terdapat satu Interior Bale Tani dibagi menjadi 2 bagian, yaitu Bale Luar dan Bale Dalam. Bale Luar menggambarkan hubungan antar manusia untuk saling menghormati dan mempertahankan sikap kekeluargaan, sedangkan Bale Dalem yang lebih privat, memperlihatkan peran wanita yang sangat penting dalam sebuah keluarga, karena di dalamnya terdapat dapur dan tempat tidur untuk anak perempuan yang masih perawan.
pintu masuk untuk memasuki ruang Bale Dalem, cara membuka pintu dengan cara digeser yang disebut Lawang Kuri .
Konstruksi rumah tradisional Sasak agaknya terkait pula dengan perspektif Islam.
·       Anak tangga sebanyak tiga buah tadi adalah simbol daur hidup manusia: lahir, berkembang, dan mati. Juga sebagai keluarga batih (ayah, ibu, dan anak), atau
·        berugak bertiang empat simbol syariat Islam: Al Quran, Hadis, Ijma’, Qiyas).
·       Anak yang yunior dan senior dalam usia ditentukan lokasi rumahnya. Rumah orangtua berada di tingkat paling tinggi, disusul anak sulung dan anak bungsu berada di tingkat paling bawah. Ini sebuah ajaran budi pekerti bahwa kakak dalam bersikap dan berperilaku hendaknya menjadi panutan sang adik.
·       Rumah yang menghadap timur secara simbolis bermakna bahwa yang tua lebih dulu menerima/menikmati kehangatan matahari pagi ketimbang yang muda yang secara fisik lebih kuat. Juga bisa berarti, begitu keluar rumah untuk bekerja dan mencari nafkah, manusia berharap mendapat rida Allah di antaranya melalui shalat, dan hal itu sudah diingatkan bahwa pintu rumahnya menghadap timur atau berlawanan dengan arah matahari terbenam (barat/kiblat).
·       Tamu pun harus merunduk bila memasuki pintu rumah yang relatif pendek. Mungkin posisi membungkuk itu secara tidak langsung mengisyaratkan sebuah etika atau wujud penghormatan kepada tuan rumah dari sang tamu.
·       Kemudian lumbung, kecuali mengajarkan warganya untuk hidup hemat dan tidak boros sebab stok logistik yang disimpan di dalamnya, hanya bisa diambil pada waktu tertentu, misalnya sekali sebulan. Bahan logistik (padi dan palawija) itu tidak boleh dikuras habis, melainkan disisakan untuk keperluan mendadak, seperti mengantisipasi gagal panen akibat cuaca dan serangan binatang yang merusak tanaman atau bahan untuk mengadakan syukuran jika ada salah satu anggota keluarga meninggal.
·       Berugak yang ada di depan rumah, di samping merupakan penghormatan terhadap rezeki yang diberikan Tuhan, juga berfungsi sebagai ruang keluarga, menerima tamu, juga menjadi alat kontrol bagi warga sekitar. Misalnya, kalau sampai pukul sembilan pagi masih ada yang duduk di berugak dan tidak keluar rumah untuk bekerja di sawah, ladang, dan kebun, mungkin dia sakit.
Sejak proses perencanaan rumah didirikan, peran perempuan atau istri diutamakan. Umpamanya, jarak usuk bambu rangka atap selebar kepala istri, tinggi penyimpanan alat dapur (sempare) harus bisa dicapai lengan istri, bahkan lebar pintu rumah seukuran tubuh istri. Membangun dan merehabilitasi rumah dilakukan secara gotong-royong meski makan-minum, berikut bahan bangunan, disediakan tuan rumah.
Dalam masyarakat Sasak, rumah berada dalam dimensi sakral (suci) dan profan duniawi) secara bersamaan. Artinya, rumah adat Sasak disamping sebagai tempat berlindung dan berkumpulnya anggota keluarga juga menjadi tempat dilaksanakannya ritual-ritual sakral yang merupakan manifestasi dari keyakinan kepada Tuhan, arwah nenek moyang (papuk baluk) bale (penunggu rumah), dan sebaginya.
Perubahan pengetahuan masyarakat, bertambahnya jumlah penghuni dan berubahnya faktor-faktor eksternal lainya (seperti faktor keamanan, geografis, dan topografis) menyebabkan perubahan terhadap fungsi dan bentuk fisik rumah adat. Hanya saja, konsep pembangunannya seperti arsitektur, tata ruang, dan polanya tetap menampilkan karakteristik tradisionalnya yang dilandasi oleh nilai-nilai filosofis yang ditransmisikan secara turun temurun.

MATERIAL

Sementara material yang dibutuhkan untuk membangun rumah antara lain: kayu-kayu penyangga, bambu, anyaman dari bambu untuk dinding, jerami dan alang-alang digunakan untuk membuat atap, kotaran kerbau atau kuda sebagai bahan campuran untuk mengeraskan lantai, getah pohon kayu banten dan bajur, abu jerami, digunakan sebagai bahan campuran untuk mengeraskan lantai.(*)
Tiang rumah dan kusen-kusen pada bangunan utama terbuat dari kayu yang kokoh. Pada bagian luar rumah, terdapat bangunan lumbung padi, didirikan di atas empat tumpukan kayu dengan atap berbentuk topi yang terbuat dari alang-alang. Biasanya padi dimasukkan melalui jendela terbuka. Pada bagian bawahnya terdapat bale-bale, yakni tempat untuk para penduduk berinteraksi sekaligus menjaga lumbung.
Kehidupan masyarakat Sade sungguhlah sederhana. Mereka masih memasak menggunakan kayu sebagai bahan bakarnya. Bahkan, lantai rumahnya terbuat dari bahan campuran tanah liat, getah pohon, abu jerami, dan kotoran kerbau. Campuran ini dimaksudkan agar ruangan di dalam rumah tidak lembab dan terjaga kebersihannya dari gangguan nyamuk. Rumah-rumah Sade pun berjajar rapi dengan tinggi yang hampir sama satu sama lainnya. Jalan penghubung antar rumah masih terbuat dari tanah, namun sebagian ada yang sudah terbuat dari semen dan ubin.

ANALISA KONDISI GEOGRAFIS TERHADAP ARSITEKTUR

Kondisi geografis Lombok yang berada pada Ring of Fire membuat nenek moyang bangsa Indonesia harus mampu untuk beradaptasi dengan kondisi alam tesebut. Bentuk adaptasi ini menghasilkan arsitektur vernakular yang tercermin dari detail rumah adat yang secara turun temurun telah diwariskan
Rumah-rumah ini terbuat dari kayu yang saling dikaitkan satu lainnya dengan sistem baji atau pasak. Ikatan sambungan semacam ini dinilai sangat dinamis sehingga mampu menahan goncangan yang tinggi seperti gempa. Pada prinsipnya, rumah-rumah ini dibuat bukan untuk memperkuat struktur dan sambungannya, melainkan untuk memperbesar fleksibilitas strukturnya. Pasca gempa, biasanya masyarakat akan membenarkan posisi pasak-pasak yang menonjol keluar dengan cara dipukul-pukul.
Penggunaan material kayu atau bambu pada rumah adat juga membuat rumah memiliki lebih banyak kelenturan terhadap guncangan gempa. Bahan ringan seperti kayu ini dinilai lebih aman untuk diterapkan pada rumah, karena yang berbahaya dari gempa bukanlah peristiwanya, namun rubuhnya bangunan akibat gempa. Penggunaan kayu mampu menghasilkan kemampuan meredam getaran yang lebih efektif, fleksibel, dan stabil. Sebagian besar rumah tradisional juga dibuat dengan bentuk yang simetris. Hal inilah yang memberikan pengaruh pada kestabilan rumah adat. Dengan bentuk yang simetris, sebaran beban pada rumah adat akan merata sehingga kestabilan dapat terjaga.


Komentar